• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit

10 Heart-felt Moments

1991 : Almost-losing my beloved Mam
Periode tersulit dalam kehidupan keluarga saya terjadi ketika Bapak saya mengalami kebangkrutan (entah yang keberapa kali) dari usahanya di Senen. Hal ini menyebabkan anak-anaknya terjun langsung membantu keuangan keluarga. Pengorbanan terbesar dilakukan oleh kakak perempuan saya yang terpaksa berhenti dari SMP Negeri 5 Bekasi. Sedangkan para lelakinya berjuang menjadi pedagang asongan di perempatan Pemda Bekasi. A' Dedi yang menjual rokok dan saya sendiri memilih berjualan minuman penghangat tenggorokan para pengendara seperti es teh manis sewaktu siang dan kopi/jahe/susu ketika matahari telah terbenam.
During this time, kami sekeluarga tinggal di sebuah kontrakan. Ibu saya, yang saya panggil ema’, sedang mengandung anak ke-5 yang sebetulnya tidak direncanakan oleh orang tua saya. Kondisi rumah yang aerasinya tidak baik menyebabkan ibu sempat berhenti bernafas selama kurang lebih 5 menit. Ketika kami sekeluarga panik dan meminta bantuan tetangga, seorang Bapak waktu itu langsung menyibakkan kelambu yang membungkus tempat tidur dan meminta dibuatkan susu hangat. Ajaib, setelah berhenti bernafas 5 menit, Ibu pun kemudian batuk sambil bergumam, “Ada apa?” Damn! Saat itu saya tidak dapat menggambarkan betapa kalutnya peluang untuk kehilangan manusia yang bahkan Muhammad SAW menyebut sampai tiga kali ketika ditanya siapa orang yang paling beliau hormati.
1992 : Making my Dad cried
Jika ada momen ketika ayah saya yang biasanya sangat tegar menjadi lemah tak berdaya adalah ketika usaha beliau hancur lebur (entah karna apa). Beliau benar-benar diuji sampai suatu saat pernah menjadi seorang kuli bangunan. I’d take a hat off to you, Dad!
Di tahun ini saya merasakan arti kegagalan (pertama) saya. Saya hanya bisa bersekolah di SMP swasta yang jelas tidak ada pikirannya di benak saya. Saat pendaftaran sekolah pun, Bapak sudah pontang-panting mencari pinjaman hingga saat guru olahraga mewajibkan siswa baru berpakaian olahraga. Ketika saatnya tiba, saya memaksa Bapak untuk membelikan baju itu saat itu juga, yang tentu tidak dapat disediakan olehnya. Tekanan ekonomi yang begitu besar dan tidak pengertian yang datang dari anaknya sampai menyebabkan beliau menangis. Damn Dad! If I could turn back time, I wont EVER do that to you.
June 1996 : Seeing Ricky/Rexy got Gold Medals in Olympic
Badminton selalu menjadi olahraga yang paling saya kuasai. Ada semacam natural insting untuk men-smash, mendrive, dan selalu menyenangkan ketika kita bisa membuat lawan main kita pontang-panting mengejar shuttle cock (tentu menjengkelkan jikalau kebalikannya).
Pemain badminton kesayangan saya pun tidak terhitung, tapi kalau diharuskan memilih saya akan memilih Susi Susanti karna endurance-nya, Hendrawan karna unpredictable placement, dan still our favorite athlete now, Taufik Hidayat karna best backhand smash he has ever.
Pertandingan badminton yang ditayangkan oleh teve pun jarang yang saya lewatkan. Saya pernah menjadi saksi bisu ketangguhan seorang Susi merebut emas di Barcelona, tapi saat paling mendebarkan dan mengharukan adalah ketika ganda putra terbaik Indonesia, Ricky Subagja/Rexy Mainaky merebut emas setelah mengandaskan pasangan Malaysia, Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock. Saat ketika kita ketinggalan di set ketiga, 10-12 untuk kemudian bangkit dan memenangkan pertarungan dengan 15-12 sangat mendebarkan, mengharukan, membanggakan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak heran sampai sekarang duo ganda ini masih sering menjadi ikon partnership ganda putra di Indonesia.

July 1998 : Crying as hearing nasyid Ibu (Suara Persaudaraan)
Perjalanan jenjang sekolah saya membawa saya ke suatu kampus mungkin masih menjadi kampus paling memorable bagi saya pribadi, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
Kejadian mengharukan bagi saya (dan saya yakin hampir semua mahasiswa angkatan 1998 mengalami hal yang sama) adalah ketika Ospek. Tidak, ospek di kampus STAN sangat manusiawi dan menjunjung aspek intelektualitas calon mahasiswa. Menjeda kegiatan di pagi hari dengan sore hari, panitia memberikan dakwah islam dengan cerita-cerita islam yang akan diakhiri dengan langgam Nasyid. Saat itu nasyid lah belum populer (Raihan pun baru merecord album pertama, Puji-Pujian). Sewaktu panitia menyanyikan nasyid Ibu milik Suara Persaudaraan, semua calon mahasiswa saat itu banjir oleh air mata.
Ibarat sinar mentari
Begitulah kasih ibu
Sepanjang zaman tak akan terbalas
Teruntai begitu indahnya
Diusia yang telah senja
Kau berkenan memanggilnya
Aku rela dlaam ridhoMu
Tawakalku padaMu
Kasihilah dia disana
Di dalam kesendiriannya
Lapangkanlah alam kuburnya
Terangilah dengan cahyamu
Duhai Robbi ampunkan dia
Sejahterakan dengan nikmatmu
Yang tak pudar ditelan masa
Ijinkanlah kami meminta
Saat itu kenangan ketika Ibu hampir terenggut nyawanya kembali membayang dan satu janji saya saat itu, ingin membahagiakan beliau.
June 2000 : Making my parents cried
Pada saat saya menyelesaikan kuliah saya di Kampus Politeknik Negeri Jakarta, tidak pernah terlintas bahwa saya akan digadang-gadang sebagai Mahasiswa Terbaik Jurusan di departemen saya (Teknik Elektro). Membanggakan? Tentu saja karena saya dan Budiyono (sahabat saya) berhasil mengalahkan peringkat terbaik di dua program studi lain. Kami mendapat privelese dengan duduk di depan semua mahasiswa dan tidak harus mengantri untuk acara pengesahan oleh Rektor saat itu.
Waktu itu Ibu dan Bapak berada di selasar kanan Balairung UI dan langsung menangis melihat keberhasilan seorang anaknya menjadi salah seorang mahasiswa terbaik. Saya waktu itu tidak tau kejadian itu, tapi ketika acara selesai dan Ibu bergegas menghampiri dan menciumi saya, saya bisa melihat bekas air mata di wajahnya. Till now, it’s my greatest moment in my life.
Read More 10 Komentar | Ditulis oleh Dodi Mulyana edit post

Sapardi Mencari Sunyi

Oleh: Ilham Khoiri

Sapardi Djoko Damono adalah penyair terkemuka Indonesia yang dikenal dengan puisi-puisi liris. Apakah rumah seniman ini juga bernuansa “liris”, sebagaimana karakter sastranya?

Sebenarnya tidak selalu ada kaitan langsung antara pilihan kesenian dan bentuk rumah seorang penyair. Namun, jika dirunut pelan-pelan, ternyata dua hal itu akhirnya bisa juga bersambungan. Setidaknya, dalam beberapa hal, rumah Sapardi cukup mendukung suasana “liris” itu. Bagaimana bisa? Coba tengok rumah Sapardi di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Indonesia (UI) di kawasan Ciputat, Tangerang, Banten. Di sinilah penyair ini tinggal sehari-hari.

Pohon mangga besar menandai halaman depan rumah yang berada di bagian belakang kompleks perumahan dosen di dekat sempadan Setu Gintung itu. Tak ada perombakan radikal terhadap bangunan. Tampilannya masih mengikuti desain asli rumah dosen yang bersahaja di atas lahan seluas 400-an meter persegi. Luas bangunannya berapa, Pak? “Aduh, sebentar,” tukas Sapardi. Dia lantas menghitung petakan-petakan tegel putih sambil melongok ke sekitar. “Kira-kira 200-an meter persegilah.”

Sapardi semestinya cukup lelah, Rabu (19/3) malam itu. Kegiatannya seharian itu cukup padat. Pagi hari, dia mengajar di Universitas Diponegoro, Semarang. Dari sana, dia langsung terbang ke UI Depok, juga untuk memberi kuliah. Sore hari sampai maghrib, dia tampil lagi sebagai pembicara dalam diskusi sastra di Bentara Budaya Jakarta.

Meski capek, guru besar dan mantan Dekan Fakultas Sastra UI itu tetap bersemangat saat diajak ngobrol. Kebugaran yang dijaga baik-baik jelas menutupi usianya yang sudah 68 tahun. Oh ya, Kamis (20/3) lalu, dia baru baru berulang tahun. Sapardi lahir di Solo, 20 Maret 1940.

Bersahaja

Kembali ke soal rumah, “kelirisan” tempat tinggal Sapardi itu pertama-tama terasa dari kebersahajaannya. Suasana itu terbangun dari kelapangan dan kesederhanaan perabot. Hampir tidak ada barang mewah dan besar—apalagi yang berukir-ukir njelimet—yang menyesaki ruangan. Perabot yang hadir benar-benar fungsional, jauh dari kesan berhias-hias.

“Banyak barang bikin sumpek,” papar Sapardi. Ruang tamu diisi meja dan beberapa kursi. Satu-satunya benda yang mencolok dalam ruang tamu—yang tidak disekat sampai batas dinding belakang itu—adalah rak buku. Rak yang berdiri di belakang kursi tamu itu berukuran sekita 2,5 meter x 2,5 meter. Tumpukan berbagai buku di kotak-kotak kayu itu tampak menonjol.


Di depan rak, ada “bale-bale” kayu kecil yang dibuat seperti undakan yang meninggi sekitar 30 sentimeter di atas lantai dasar. Di atas hamparan papan yang dilapisi karpet kuning itu, Sapardi sering membaca buku, menulis, memeriksa hasil kerja mahasiswa, atau tiduran sekenanya. “Rak dan papan inilah salah satu tambahan penting dalam rumah ini,” katanya.

Selain ruang tamu, ada dua rak buku lagi, masing-masing diletakkan di kamar belakang dan di kamar santai di dekat kamar mandi. Kamar tidur Sapardi sendiri berada di bangian tengah, berukuran sekitar 3 meter x 4 meter. Ruangan ini dilengkapi meja kerja, meja hias bercermin, serta beberapa lemari pakaian.

“Semua ruangan di rumah ini jadi tempat kerja saya. Saya tak bisa kerja terus di satu tempat. Saya suka pindah-pindah waktu menulis, kadang di meja makan, kamar, atau di atas papan kayu. Itulah enaknya punya laptop,” katanya sambil tersenyum.

Biasanya, penyair itu bekerja sambil ditemani lantunan musik jazz yang dihidupkan dari laptop atau dari VCD player. Banyak jenis jazz yang disukainya, seperti Bob James, Chet Baker, A Coustic Alchemy, atau George Benson. Saat mau tidur pun, dia masih gemar mendengar jazz dari walkman.

Sunyi

Apa yang dicari Sapardi dari kebersahajaan rumah itu? “Ruang-ruang yang longgar membuat hati lega. Tetapi, yang paling penting saya memperoleh suasana tenang, sunyi,” katanya.

Sunyi yang diidamkan itu memang mengental dalam rumah tersebut. Pertama-tama, karena Sapardi tinggal sendirian di situ. Jadi, tidak ada suara anak-anak atau keriuhan rumah tangga sehari-hari. Hanya sesekali, sahabat datang bertandang.

Kedua, dia sangat menjaga suasana itu. Bahkan, demi ketenangan, dia tidak memasang televisi dan tak langganan koran. “Televisi itu mengganggu, siksaan. Bunyinya tak bisa dihindari, menguber kita terus. Sementara berita di koran kan umumnya buruk-buruk, hanya bikin marah saja!”

Kesendirian itu bukan tanpa risiko. Pernah, tahun 1998, setelah tiga tahun tinggal sendirian di rumah itu, Sapardi jatuh sakit. “Jantung saya rasanya ‘duk, duk, duk’. Saya panggil taksi untuk mengantar ke dokter. Akhirnya saya dirawat tiga hari di rumah sakit,” katanya.

Namun, setelah sembuh, dan lewat beberapa tahun kemudian, Sapardi tak kapok untuk kembali mencari sunyi dengan menyendiri ke rumah ini.

Lalu, apa sejatinya makna kesunyian bagi penyair ini? “Sunyi itu menyentuh. Dalam sunyi, saya bisa dengarkan bunyi-bunyi yang paling lembut, termasuk bunyi dari tubuh sendiri,” katanya.
Untuk mencapai momen itu, dia kerap tidur sore-sore agar bisa bangun dini hari, sekitar pukul 03.00. Saat itulah dia menemukan rentang waktu yang paling sublim, yang merangsangnya menulis karya sastra (puisi, esai, atau cerita) sampai subuh.

Dari senyap yang mengundang permenungan itulah sebagian puisi Sapardi lahir. Kalangan sastra menyebut sastranya sebagai puisi liris, yaitu puisi yang memproses perkembangan pikiran dan perasaan yang subtil. Subtil, karean diksi-nya tajam, halus, dan rumit, tetapi tak kentara.

Simak saja puisi Sapardi berjudul Aku Ingin yang sangat terkenal itu.

Aku ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Read More 2 Komentar | Ditulis oleh Dodi Mulyana edit post

Kembali Kelu

Kabut itu akhirnya menggayut
Mengisi kemelut hati yang takut
Pilu terdiam di setiap sudut
Hingga mimpi pun turut terenggut

Harap itu akhirnya memudar
Serapuh bingkai lilin di gulita malam
Sekelu teriak manusia di rimba sesat
Sebisu alam raya di hamparan jagat

Wahai kekasih,
Sedihku akan hitamnya duka ini
Ratapku akan hancurnya asa ini
Matiku akan kelunya jiwa ini

Kembali... aku kelu di sesat jalan-Mu
Read More 0 Komentar | Ditulis oleh Dodi Mulyana edit post
Newer Posts Older Posts Home

Color Paper

  • Tentang Blog Ini

      Berawal dari goresan pena pengalaman paling pribadi, untuk kemudian menyadari bahwa sebuah tulisan bisa menjadi alat yang lebih tajam daripada pisau dan lebih cepat dibanding peluru. Demikian, tulisan-tulisan di blog ini pun berevolusi menjadi tulisan dalam konteks yang lebih umum.


  • ShoutMix chat widget

    Followers

    deBlogger

    • e-no
      Seribu Bayang Purnama: Seribu Problema Pertanian Kita
      1 week ago
    • shandyisme
      Personal Loan Cancellation
      6 years ago
    • Ramadoni
    • Welcome to gegepoweranger.co.cc
    • I AM DITO
    • ãñÐrî ñâwáwï

    Blog Archive

    • ►  2009 (20)
      • ►  June (2)
      • ►  May (3)
      • ►  April (5)
      • ►  March (4)
      • ►  February (3)
      • ►  January (3)
    • ▼  2008 (3)
      • ▼  November (1)
        • 10 Heart-felt Moments
      • ►  May (1)
        • Sapardi Mencari Sunyi
      • ►  January (1)
        • Kembali Kelu
    • ►  2007 (3)
      • ►  December (1)
      • ►  July (1)
      • ►  April (1)
    • ►  2006 (11)
      • ►  October (1)
      • ►  July (7)
      • ►  June (2)
      • ►  February (1)
    • ►  2005 (16)
      • ►  December (1)
      • ►  October (2)
      • ►  August (2)
      • ►  July (3)
      • ►  June (5)
      • ►  May (3)

    Blog Statistik






    free counters

    • Home
    • Posts RSS
    • Comments RSS
    • Edit

    © Copyright Dhodie's blog. All rights reserved.
    Designed by FTL Wordpress Themes | Bloggerized by FalconHive.com
    brought to you by Smashing Magazine

    Back to Top