Sapardi Djoko Damono adalah penyair terkemuka Indonesia yang dikenal dengan puisi-puisi liris. Apakah rumah seniman ini juga bernuansa “liris”, sebagaimana karakter sastranya?
Sebenarnya tidak selalu ada kaitan langsung antara pilihan kesenian dan bentuk rumah seorang penyair. Namun, jika dirunut pelan-pelan, ternyata dua hal itu akhirnya bisa juga bersambungan. Setidaknya, dalam beberapa hal, rumah Sapardi cukup mendukung suasana “liris” itu. Bagaimana bisa? Coba tengok rumah Sapardi di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Indonesia (UI) di kawasan Ciputat, Tangerang, Banten. Di sinilah penyair ini tinggal sehari-hari.
Pohon mangga besar menandai halaman depan rumah yang berada di bagian belakang kompleks perumahan dosen di dekat sempadan Setu Gintung itu. Tak ada perombakan radikal terhadap bangunan. Tampilannya masih mengikuti desain asli rumah dosen yang bersahaja di atas lahan seluas 400-an meter persegi. Luas bangunannya berapa, Pak? “Aduh, sebentar,” tukas Sapardi. Dia lantas menghitung petakan-petakan tegel putih sambil melongok ke sekitar. “Kira-kira 200-an meter persegilah.”
Sapardi semestinya cukup lelah, Rabu (19/3) malam itu. Kegiatannya seharian itu cukup padat. Pagi hari, dia mengajar di Universitas Diponegoro, Semarang. Dari sana, dia langsung terbang ke UI Depok, juga untuk memberi kuliah. Sore hari sampai maghrib, dia tampil lagi sebagai pembicara dalam diskusi sastra di Bentara Budaya Jakarta.
Meski capek, guru besar dan mantan Dekan Fakultas Sastra UI itu tetap bersemangat saat diajak ngobrol. Kebugaran yang dijaga baik-baik jelas menutupi usianya yang sudah 68 tahun. Oh ya, Kamis (20/3) lalu, dia baru baru berulang tahun. Sapardi lahir di Solo, 20 Maret 1940.
Bersahaja
Kembali ke soal rumah, “kelirisan” tempat tinggal Sapardi itu pertama-tama terasa dari kebersahajaannya. Suasana itu terbangun dari kelapangan dan kesederhanaan perabot. Hampir tidak ada barang mewah dan besar—apalagi yang berukir-ukir njelimet—yang menyesaki ruangan. Perabot yang hadir benar-benar fungsional, jauh dari kesan berhias-hias.
“Banyak barang bikin sumpek,” papar Sapardi. Ruang tamu diisi meja dan beberapa kursi. Satu-satunya benda yang mencolok dalam ruang tamu—yang tidak disekat sampai batas dinding belakang itu—adalah rak buku. Rak yang berdiri di belakang kursi tamu itu berukuran sekita 2,5 meter x 2,5 meter. Tumpukan berbagai buku di kotak-kotak kayu itu tampak menonjol.
Di depan rak, ada “bale-bale” kayu kecil yang dibuat seperti undakan yang meninggi sekitar 30 sentimeter di atas lantai dasar. Di atas hamparan papan yang dilapisi karpet kuning itu, Sapardi sering membaca buku, menulis, memeriksa hasil kerja mahasiswa, atau tiduran sekenanya. “Rak dan papan inilah salah satu tambahan penting dalam rumah ini,” katanya.
Selain ruang tamu, ada dua rak buku lagi, masing-masing diletakkan di kamar belakang dan di kamar santai di dekat kamar mandi. Kamar tidur Sapardi sendiri berada di bangian tengah, berukuran sekitar 3 meter x 4 meter. Ruangan ini dilengkapi meja kerja, meja hias bercermin, serta beberapa lemari pakaian.
“Semua ruangan di rumah ini jadi tempat kerja saya. Saya tak bisa kerja terus di satu tempat. Saya suka pindah-pindah waktu menulis, kadang di meja makan, kamar, atau di atas papan kayu. Itulah enaknya punya laptop,” katanya sambil tersenyum.
Biasanya, penyair itu bekerja sambil ditemani lantunan musik jazz yang dihidupkan dari laptop atau dari VCD player. Banyak jenis jazz yang disukainya, seperti Bob James, Chet Baker, A Coustic Alchemy, atau George Benson. Saat mau tidur pun, dia masih gemar mendengar jazz dari walkman.
Sunyi
Apa yang dicari Sapardi dari kebersahajaan rumah itu? “Ruang-ruang yang longgar membuat hati lega. Tetapi, yang paling penting saya memperoleh suasana tenang, sunyi,” katanya.
Sunyi yang diidamkan itu memang mengental dalam rumah tersebut. Pertama-tama, karena Sapardi tinggal sendirian di situ. Jadi, tidak ada suara anak-anak atau keriuhan rumah tangga sehari-hari. Hanya sesekali, sahabat datang bertandang.
Kedua, dia sangat menjaga suasana itu. Bahkan, demi ketenangan, dia tidak memasang televisi dan tak langganan koran. “Televisi itu mengganggu, siksaan. Bunyinya tak bisa dihindari, menguber kita terus. Sementara berita di koran kan umumnya buruk-buruk, hanya bikin marah saja!”
Kesendirian itu bukan tanpa risiko. Pernah, tahun 1998, setelah tiga tahun tinggal sendirian di rumah itu, Sapardi jatuh sakit. “Jantung saya rasanya ‘duk, duk, duk’. Saya panggil taksi untuk mengantar ke dokter. Akhirnya saya dirawat tiga hari di rumah sakit,” katanya.
Namun, setelah sembuh, dan lewat beberapa tahun kemudian, Sapardi tak kapok untuk kembali mencari sunyi dengan menyendiri ke rumah ini.
Lalu, apa sejatinya makna kesunyian bagi penyair ini? “Sunyi itu menyentuh. Dalam sunyi, saya bisa dengarkan bunyi-bunyi yang paling lembut, termasuk bunyi dari tubuh sendiri,” katanya.
Untuk mencapai momen itu, dia kerap tidur sore-sore agar bisa bangun dini hari, sekitar pukul 03.00. Saat itulah dia menemukan rentang waktu yang paling sublim, yang merangsangnya menulis karya sastra (puisi, esai, atau cerita) sampai subuh.
Dari senyap yang mengundang permenungan itulah sebagian puisi Sapardi lahir. Kalangan sastra menyebut sastranya sebagai puisi liris, yaitu puisi yang memproses perkembangan pikiran dan perasaan yang subtil. Subtil, karean diksi-nya tajam, halus, dan rumit, tetapi tak kentara.
Simak saja puisi Sapardi berjudul Aku Ingin yang sangat terkenal itu.
Aku ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
wow ... dod, amazing. I like that habit, living without tv and newspaper.
@Ferimalwa
Beruntunglah orang-orang yang sudah bisa lepas dari itu bang. Karena menurut saya pun keduanya lebih banyak maksiat dibanding manfaatnya hehehe