Mengamati pergulatan kehidupan di peron sendiri merupakan hal yang saya sukai karena saya lahir dan sering tinggal di dekat stasiun. Dimulai dari masa kecil saya di Pintu Air, saya merasakan kusutnya peron Bekasi. Hiruk pikuk dan kumuhnya peron di Pondok Ranji pun pernah saya rasakan ketika berkuliah di STAN. Peron Pondok Jati merupakan tempat saya menunggu KRL ekonomi jurusan Bekasi ketika saya berjuang untuk persiapan UMPTN batch III. Sampai akhirnya saya merasakan stasiun kecil yang tadinya bahkan tidak ada di peta perlintasan kereta tetapi sekarang menjadi transit pekerja-pekerja yang berasal dari salah satu universitas di Indonesia, UI.
Pada jam-jam pulang kantor, di atas jam lima, Juanda akan dipenuhi oleh sesak penumpang yang berburu kereta api, pengamen dan pengemis yang tak henti mengetuk nurani, atau orang-orang jail yang sering memanfaatkan kelengahan ribuan karyawan yang hendak pulang karena didera kelelahan. Jika direka-reka pada jam-jam ini peron akan disesaki sekitar 1000 orang yang tumplek bleg dalam satu waktu. Somehow, saya pun memotret dua wajah nasib yang ada di dua bagian peron Juanda.
Yang Eksekutif, Yang Bergaya
Apa tujuan mereka masuk ke stasiun ini? Jelas bukan karena mereka ingin berdesakan naik KRL ekonomi. Mereka acuh saja dengan ribuan penumpang lain karena mereka akan naik kereta eksklusif yang akan turun hanya di beberapa stasiun transit, seperti UI, Jatinegara, dan Depok. Bahkan kadang-kadang KRL ini pun hanya turun di stasiun awal—
Yang Ekonomi, Yang Merana
Apa tujuan mereka masuk ke stasiun ini? Mereka tidak punya pilihan lain selain transportasi rakyat macam KRL ekonomi. Cukup hanya dengan mengeluarkan Rp. 1.500 (Jakarta-Bekasi) atau Rp. 2.000 (Jakarta-Bogor) mereka dapat mengurangi beban hidup yang menghimpit mereka.
Pada jam-jam pulang karyawan, jangan berharap dapat naik KRL yang masih kosong atau sempit sedikit. Sering kali KRL yang baru datang dari Sawah Besar sudah disesaki karyawan sampai bagian atapnya. Disinilah penderitaan itu dimulai. Satu gerbong yang idealnya memuat 50 orang atau 100 orang (ditambah yang berdiri), disesaki lebih dari 400 orang. Bayangkan bagaimana menyedihkannya ketika ada wanita yang kakinya diinjak, anak kecil yang terlepas tangan karena tak kuat mendorong kerumunan penumpang, dan yang paling mengenaskan hilangnya barang-barang penumpang yang bisa jadi karena terjatuh (dan pasti takkan terambil) atau banyaknya orang yang panjang tangan. Kalau Kawan pernah mencoba untuk naik kereta pada jam-jam ini, saya sarankan ubah jadwal keberangkatannya. Menderita! adalah satu kata untuk menggambarkan perjuangan mereka.
Lalu, saya sebagai orang yang baru bekerja di Samsung Telecommunication Indonesia (STIN) di bilangan Medan Merdeka Selatan berada di kelompok pertama atau kedua? Tak perlu disangkal lagi, pastilah saya akan masuk di kelompok kedua. Apakah saya merasa merana bergabung dengan mereka? Sama sekali tidak! Ini adalah privelese yang hanya akan saya dapatkan ketika saya belum jadi 'orang'. Dan saya sangat menikmati wajah Indonesia di kelompok kedua ini.
Ok , Pak Dodi
beda KRL ekonomi sama Exresso
kurang lebih=
KRL ekonomi matanya satu alias cyclops
(mungkin kena lemparan batu mata satunya, waktu lahir)
Tapi Express matanya dua
Lihat De, waktu Nunggu =))
mungkn berguna
Posted By: Mohaba
FTUI 2005
Penjiwa Ceria, heh heh heh heh heh
GedubraKKKKKK
HIDUP KERETA................!!!!!!!
-4n70-
FTUI 2005
yg masih belum jadi orang
Aa'dodi makasih ya info tentang keretanya, trnyata serem mmg naik kereta ekonomi..apalagi diri ini wanita, lbh enak ekonomi ac atw yg semi(he..he:-D) dan yg utama jk msh memungkinkan soal dana ngapain susah2 sengsara...sepakatkah anda...?