Tapi Ira tidak begitu. Jika diamati dari penampilannya, dia cukup percaya diri. Anggun, begitu Adhi menyebutnya. Jauh dari kesan perempuan kampus yang harus berkutat dengan buku. Bahkan kadang-kadang, Adhi merasa risih kalau berjalan dengannya. Meski hal itu akan hilang dengan sendirinya kala perhatian Ira hanya tertuju kepadanya.Fokus-begitu Ira menyebutnya- lah yang membuat Adhi tertarik kepada Ira. Ingatan-ingatan tentang kebersamaan yang dijalani oleh mereka berdua akhirnya membawa Adhi ke gerbang mimpi dengan sesungging senyuman.
"Dhi, aku sudah di Depok. Kita ketemu di tempat biasa ya.. Tapi aku mau ke Perpus pusat dulu. Ada bahan-bahan kuliah yang harus aku pelajari" sms pun terluncur ke handphone Adhi keesokan harinya.
"Take your time, dear. Aku juga masih di kantor. Sebentar lagi aku off . Bagaimana kalau kita ketemu jam 3?" Adhi menjawab sms Ira.
"Oke, Dhi. Sampai ketemu di sana" Ira menjawab cepat.
Tempat itu selalu dijadikan tempat pertemuan Adhi dan Ira. Pinggiran danau, dekat dengan Masjid Ukhuwah Islamiyah (MUI). Rerindang pepohonan, gemericik air, serta helaan teduhnya angin mampu meruntuhkan sendi-sendi "kepenatan hidup" setiap insan yang berniat untuk melepas lelah di sana. Adhi pun tiba di sana ketika beberapa pasang anak manusia sudah terduduk di bangku taman, ada yang bersenda gurau, ada yang menampakkan wajah serius, dan ada pula yang hanya bermimik pasi. Keberagaman ekspresi yang timbul karena peristiwa-peristiwa yang dialami oleh mereka, yang menginginkan agar danau UI memberi solusi atas masalah yang menimpa mereka, meski hanya untuk satu helaan nafas panjang.
Adhi mengambil tempat selurus dengan Fasilkom. Lebih terjaga hati kita dengan adanya orang yang lalu-lalang di sekitar kita, begitu Ira memberikan alasan kepadanya. Lalu, ia pun mengambil sehelai daun jati yang meranggas, sementara tas gembloknya pun ia jadikan sebagai pengganjal pinggang. Sejenak Adhi pun larut dalam keheningan ketika ia melihat wajah gontai yang mendekatinya. Ah, aku harap kamu baik-baik saja, dear, gumam Adhi.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Adhi khawatir."Urusanku banyak yang tertunda Dhi. Mahasiswa yang kubimbing masih bermasalah, sedangkan aku sendiri masih harus menyiapkan tesisku karena sudah telat 2 bulan lebih" tutur Ira sambil melongsorkan tubuhnya di atas rerumputan."Kenapa lagi dengan mahasiswamu?" tanya Adhi lagi."Kemarin baru aku temukan bahwa dia mencoba memplagiat karya tulis orang lain. Berengsek!" Nada Ira menaik karena merasa dibohongi oleh mahasiswa yang sudah banyak dibantunya itu."Sabar dear, kadang-kadang deadline bisa membuat mereka gelap mata" Adhi coba memberikan pengertian. "Sama sekali bukan alasan yang dapat dibenarkan!" sungut Ira. Adhi pun terdiam dan hanya tersenyum kepada Ira karena ia tahu seberapa kukuh pendirian kekasihnya itu. Ira yang baru tersadar diperhatikan seperti itu, hanya berujar pelan "Maaf Dhi, aku emosi sekali hari ini". Adhi pun hanya mengembangkan senyumnya.
"Ra, aku minta maaf atas kejadian waktu itu" tutur Adhi mencoba memulai tujuan dari pertemuan mereka. "Kalau saja aku tahu kejadian kemarin akan membuka traumamu.." Adhi berusaha melanjutkan kalimatnya ketika tiba-tiba ia melihat tatapan mata Ira menghentikannya untuk tetap bersuara."Kamu gak salah Dhi karena aku pun tidak pernah cerita ke kamu" gumam Ira samar."Perceraian orangtuaku merupakan hal yang paling membuatku hancur. Kamu tau penyebabnya?"Tanya Ira dengan tidak melepaskan pandangannya ke danau."Aku tidak ingin menebak-nebaknya dear. Pengalamanku mengajarkan bahwa buruk sangka itu tidak akan pernah berguna" Adhi pun menghela nafas mencoba mengusir perasaan bersalahnya kepada Ira.
"Sewaktu pertama kali bertemu, ayah dan ibuku yakin bahwa mereka saling mencintai. Keyakinan yang akhirnya terkalahkan ketika ayahku selalu mempertanyakan apakah dia layak menjadi pendamping Ibu. Ternyata tiga buah hati mereka belum cukup membuktikan bahwa Ibu benar-benar mencintainya. Bisa kamu bayangkan bagaimana hancurnya hati Ibu ketika ayahku tidak mampu mengalahkan dengungan pertanyaan itu?" Suara Ira makin parau karena berusaha untuk tidak menangis.
"Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, mereka bercerai.Kamu tau siapa yang paling dirugikan diantara kami semua?" Tanya Ira yang disambut gelengan Adhi. "Kami semua menderita Dhi. Ibu sering melarikan diri dengan pekerjaannya, sering lupa untuk mengurus dirinya sendiri. Ayahku sekarang hanya tinggal sendiri di sepetak tanah di Bali. Dan kami, anak-anaknya, kehilangan kepercayaan dengan yang namanya kasih-sayang!" akhirnya tangis itu pun pecah.
Adhi pun mendekatkan wajahnya ke wajah Ira sehingga kedua mata mereka pun bertemu."Hentikan kalau memang kamu hanya akan lebih menderita Ra..Cukup!" Setitik air pun mengambang di mata Adhi karena tak kuasa melihat tangisan Ira.
"Sejujurnya ketidakyakinanku timbul karena aku tidak mensyukuri anugerah yang telah Alloh berikan kepadaku. Aku tidak mencoba untuk meresapi indahnya kebersamaan yang telah kita jalani. Kalau saja kala itu aku bisa melihat dari sudut pandang yang lebih positif, tidak akan bibit ketidakyakinan itu bersemayam di hatiku." Jelas Adhi."Sekarang aku yakin bahwa kita saling memerlukan, Ra. Aku gak butuh orang lain lagi untuk menemani hidupku karena aku sudah punya kamu, dear. Sekarang, aku ingin kita menutup luka-luka lama kita untuk membuka lembaran baru bagi kita berdua, bagaimana?" Tanya Adhi kepada Ira yang telah menghentikan tangisnya. "Kamu yakin kita akan berhasil?" sekilas ekspresi ketidakyakinan menyeruak di benak Ira. Adhi mengangguk tegas.
Dan seketika itu pula guratan senyum hadir di wajah mereka.