"Saya menangis saat mengunjungi IPTN, karena semua usaha yang telah dirintis anak-anak bangsa harus hancur semuanya," kenangnya saat melakukan ramah-tamah bersama masyarakat Sulsel di Makassar, Sabtu malam.
Menurut Habibie, hal terbaik yang berusaha dipersembahkan kepada bangsa melalui IPTN ini, dinilai sia-sia (mubazzir). Bahkan setelah industri ini ditutup, semua tenaga-tenaga handal anak-anak bangsa dimanfaatkan oleh negara-negara tetangga, dan Eropa.
"Apa gunanya kita memberikan yang terbaik kepada bangsa kalau bangsa itu sendiri juga yang menghancurkannya," kata Habibie seraya kecewa dengan Indoensia yang dinilai kurang mengharagai Sumber Daya Manusianya.
Saat mendirikan industri penerbangan tersebut, ia dibantu 20 orang anak bangsa yang telah dididiknya untuk membuat pesawat terbang. Setelah industri ini berkembang pesat jumlah karyawannya menjadi 44.000 orang, namun lambat laun, berkurang menjadi 1400 orang.
"Dimana anak-anak saya?" tegasnya saat mengenang kondisi yang terjadi di IPTN dimana sejumlah SDM yang telah didiknya meninggalkan Indonesia dan bekerja di negara lain, negara tempat dimana mereka dihargai hasil jerih payah, dan karya ciptanya.
Saat Indoensia dilanda badai krisis sejak Juli 1997 dimana merongrong habis sumberdaya ekonomi nasional, telah membuat kemampuan finansial industri pesawat ini susut dengan drastis.
Akibat krisis ekonomi ini membuat Indonesia harus minta bantuan pada Dana Moneter Internasional (IMF) , maka sebagai konsekuensinya adalah RI harus menerima persyaratan bahwa Pemerintah tidak boleh lagi mengucurkan dana yang terbatas ke industri penerbangan nasional ini.
"Kini kita telah kehilangan putra-putri terbaik yang mampu menghasilkan/membuat pesawat," katanya. Ramah tamah dan silaturahmi dihadiri Gubernur Sulsel Amin Syam , Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Arif Budi Sampurno dan Kapolda Saleh Saar serta sejumlah pejabat teras wilayah Sulsel. [EL, Ant]