Secercah asa diterbitkan
Segenggam semangat dikepalkan
Seuntai doa dipanjatkan
Kuharap yang terbaik selalu bersamamu
(8 December '07, Antara - Cipanas)
Mengamati pergulatan kehidupan di peron sendiri merupakan hal yang saya sukai karena saya lahir dan sering tinggal di dekat stasiun. Dimulai dari masa kecil saya di Pintu Air, saya merasakan kusutnya peron Bekasi. Hiruk pikuk dan kumuhnya peron di Pondok Ranji pun pernah saya rasakan ketika berkuliah di STAN. Peron Pondok Jati merupakan tempat saya menunggu KRL ekonomi jurusan Bekasi ketika saya berjuang untuk persiapan UMPTN batch III. Sampai akhirnya saya merasakan stasiun kecil yang tadinya bahkan tidak ada di peta perlintasan kereta tetapi sekarang menjadi transit pekerja-pekerja yang berasal dari salah satu universitas di Indonesia, UI.
Pada jam-jam pulang kantor, di atas jam lima, Juanda akan dipenuhi oleh sesak penumpang yang berburu kereta api, pengamen dan pengemis yang tak henti mengetuk nurani, atau orang-orang jail yang sering memanfaatkan kelengahan ribuan karyawan yang hendak pulang karena didera kelelahan. Jika direka-reka pada jam-jam ini peron akan disesaki sekitar 1000 orang yang tumplek bleg dalam satu waktu. Somehow, saya pun memotret dua wajah nasib yang ada di dua bagian peron Juanda.
Yang Eksekutif, Yang Bergaya
Apa tujuan mereka masuk ke stasiun ini? Jelas bukan karena mereka ingin berdesakan naik KRL ekonomi. Mereka acuh saja dengan ribuan penumpang lain karena mereka akan naik kereta eksklusif yang akan turun hanya di beberapa stasiun transit, seperti UI, Jatinegara, dan Depok. Bahkan kadang-kadang KRL ini pun hanya turun di stasiun awal—
Yang Ekonomi, Yang Merana
Apa tujuan mereka masuk ke stasiun ini? Mereka tidak punya pilihan lain selain transportasi rakyat macam KRL ekonomi. Cukup hanya dengan mengeluarkan Rp. 1.500 (Jakarta-Bekasi) atau Rp. 2.000 (Jakarta-Bogor) mereka dapat mengurangi beban hidup yang menghimpit mereka.
Pada jam-jam pulang karyawan, jangan berharap dapat naik KRL yang masih kosong atau sempit sedikit. Sering kali KRL yang baru datang dari Sawah Besar sudah disesaki karyawan sampai bagian atapnya. Disinilah penderitaan itu dimulai. Satu gerbong yang idealnya memuat 50 orang atau 100 orang (ditambah yang berdiri), disesaki lebih dari 400 orang. Bayangkan bagaimana menyedihkannya ketika ada wanita yang kakinya diinjak, anak kecil yang terlepas tangan karena tak kuat mendorong kerumunan penumpang, dan yang paling mengenaskan hilangnya barang-barang penumpang yang bisa jadi karena terjatuh (dan pasti takkan terambil) atau banyaknya orang yang panjang tangan. Kalau Kawan pernah mencoba untuk naik kereta pada jam-jam ini, saya sarankan ubah jadwal keberangkatannya. Menderita! adalah satu kata untuk menggambarkan perjuangan mereka.
Lalu, saya sebagai orang yang baru bekerja di Samsung Telecommunication Indonesia (STIN) di bilangan Medan Merdeka Selatan berada di kelompok pertama atau kedua? Tak perlu disangkal lagi, pastilah saya akan masuk di kelompok kedua. Apakah saya merasa merana bergabung dengan mereka? Sama sekali tidak! Ini adalah privelese yang hanya akan saya dapatkan ketika saya belum jadi 'orang'. Dan saya sangat menikmati wajah Indonesia di kelompok kedua ini.
Mencinta memang indah
Tak perlu dipikir dengan meluap
Tak perlu diucap dengan meresap
Tanpa itu mencinta tetap lah indah
Merindu memang sendu
Tak perlu disebut dengan kusut
Tak perlu disahut dengan kalut
Tanpa itu merindu tetap lah sendu
Menerima memang agung
Tak perlu dicari ke puncak gunung
Tak perlu diselami di palung laut
Tanpa itu menerima tetap lah agung
Mencinta bermula di jiwa
Merindu bergulat di sukma
Menerima bersiasat di raga
be inspired on Takkan Terganti (Dea Mirella)
Berawal dari goresan pena pengalaman paling pribadi, untuk kemudian menyadari bahwa sebuah tulisan bisa menjadi alat yang lebih tajam daripada pisau dan lebih cepat dibanding peluru. Demikian, tulisan-tulisan di blog ini pun berevolusi menjadi tulisan dalam konteks yang lebih umum.
© Copyright Dhodie's blog. All rights reserved.
Designed by FTL Wordpress Themes | Bloggerized by FalconHive.com
brought to you by Smashing Magazine