• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit

deBlogger – Sebuah Harapan

Pernah membaca profil Mas Priyadi yang tulisan-tulisannya tentang dunia internet dan opensource menjadi referensi pengguna internet di Indonesia? Atau om Nukman Luthfie yang sering menjadi pembicara mengenai internet business strategy? Ada yang tau kenapa saya menautkan dua tokoh yang cukup terkenal di Indonesian Cyber Society ke dalam tulisan ini? Benar, mereka berdua adalah penduduk kota Depok--saya bangga karenanya. Mereka yang mampu memanfaatkan trend global internet sehingga menjadi front-runner dibanding orang kebanyakan.

Kota Depok sendiri yang akan berusia 10 tahun per 27 April nanti, jelas memiliki potensi besar untuk memanfaatkan internet sebagai jembatan kehidupan masyarakatnya. Dengan hanya mengurusi 6 kecamatan seluas 200 km2 dan ditopang oleh banyak kampus (UI, Gunadarma, BSI), agregasi komunitas internet seharusnya menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Meski pada kenyataannya, pemanfaatan potensi itu masih sekadar wacana.

Letupan Ide
Mengamati bahwa komunitas internet (khususnya blogger) yang belum eksis berbicara di beberapa forum seperti pestablogger 2008, Letupan ide untuk membentuk sebuah komunitas blogger di Depok pun mengemuka dari Bu Lita, Dito, Ardi dalam
sebuah ulasan komunitas blogger di Indonesia
. Meski di ujung cross-comments didapati bahwa komunitas ini sudah memiliki domain di http://iddepok.tk pada kenyataannya itu masih belum terdengar gaungnya sampai sekarang.

Langkah Awal
Di sebuah mikroblogging, saya berkenalan dengan seorang blogger, Andri Nawawi. Beberapa percakapan seru mengenai pembentukan komunitas ini dilakukan secara virtual (Blog, YM, dan terutama di Plurk). Sampai akhirnya kami berkesimpulan untuk membeli domain situsnya terlebih dahulu karena kalau hanya membicarakan konsep tentu tidak akan ada habisnya. Alhasil dipilihlah domain deBlogger.org pada tanggal 3 Maret yang lalu.


Lecutan Pertama
Kalau kita pernah berpikir jalan hidup itu sebuah misteri, maka prosesi dari sekadar konsep sampai akhirnya mengemuka menjadi terwujudnya kegiatan kopi darat adalah salah satunya. Lecutan itu sendiri adalah acara Pameran IT-Cell Expo yang diadakan pada tanggal 15-22 Maret 2009 di Depok Town Square. Tiba-tiba saja percakapan saya dengan beberapa blogger Depok di diskusi Komunitas
Blogger Depok
terekam oleh salah satu blogger Depok, Mas Alix sehingga saya mendapat kesempatan untuk mengisi acara talkshow di pameran tersebut.
Kesulitan yang dialami panitia untuk mengundang Walikota Depok dan perwakilan Diskominfo menjadikan Pak Muhammad Salahudin dari Asosiasi Warnet Indonesia dan saya sendiri untuk membuka pameran tersebut tanggal 15 Maret.

Meski gugup dan sempat keluar keringat dingin (karna saya lebih dulu memberi sambutan dibanding Pak Didin), acara sambutan dengan pemotongan pita pun berjalan lancar. Banyak pelajaran yang saya petik tentang bagaimana menghandle waktu dan paparan yang menarik minat audiens dari Pak Didin.

Lecutan Kedua
Lecutan kedua tentu saja acara talkshow itu sendiri. Berbicara di sebuah pameran merupakan hal yang baru bagi saya. Setelah berdiskusi dengan teman-teman di Plurk, diputuskan untuk mengambil tantangan ini karna saya pribadi yakin hal ini merupakan sebuah promosi tidak langsung untuk komunitas blogger Depok.
Guna mempersiapkan diri secara mental akhirnya diputuskan untuk melakukan kopi darat kembali dengan beberapa rekan: Andri, Dito, Eyla, dan Shandy di Tiktok van Depok. Obrolan yang fokus, seru tetapi selalu dibumbui dengan keakraban (heran padahal kami baru pertama kali ini bertemu, kecuali Andri). Banyak poin penting yang saya dapatkan dari kopdar tersebut guna mempersiapkan isi materi talkshow secara tidak langsung.

Acara talkshow sendiri mengambil tema Menuju Depok sebagai Cyber City, sebuah tema yang agak terlalu tinggi sebenarnya, tapi tidak mustahil. Harapan saya ketika membuat 11 slideshow tersebut adalah bahwa ada semacam aware bersama bahwa kita ingin komunitas blogger ini bisa menjadi satu partisipan kecil dalam pembangunan Depok menjadi cyber city.

Mempertimbangkan bahwa akan lebih seru apabila pembicara talkshow ditambah satu orang, akhirnya saya meminta Andri untuk mendampingi saya. Saya berbicara pada tataran umum (Cyber city, pengguna Internet Depok) dan Andri berbicara di tataran khusus (website dan komunitas). Not bad at all, itu yang bisa saya simpulkan dari acara tersebut.


Untuk kemudian setelah acara talkshow kami berkumpul di Main Floor Detos: Dodi, Kristian, Andri, Maman, Dito, Julian, Tika, Eno, Gelar, Shandy, Sheed, Alix, dan Bu Ajeng. Nama terakhir ini sangat eksis di dunia kopi darat, sehingga banyak pengalaman beliau tentang bagaimana mempersiapkan sebuah launching akbar komunitas blogger amat membantu kami untuk semakin optimis untuk melangkah.

Menuju Launching Akbar
Banyak manfaat yang saya dapat dari rangkaian peristiwa yang saya alami dalam satu bulan terakhir ini. Secara pribadi saya merasa hidup saya lebih berwarna karna menemukan satu lagi komunitas baru yang, insyaAlloh positif. Dan secara komunitas, harapan terhadap komunitas ini pun menjejak bumi pada akhirnya. Kita tidak lagi berbicara pada tataran ide, tapi dalam beberapa minggu ke depan akan segera berubah menjadi sebuah launching akbar Komunitas Blogger Depok.
Mari kita dukung bersama agar komunitas ini bisa tegap melangkah ke depannya.
Read More 19 Komentar | Ditulis oleh Dodi Mulyana edit post

Plurk vs Koprol

Termasuk yang agak telat mengenal Plurk, 21 November 08, alhamdulillah sekarang sebenarnya tidak ada lagi tujuan plurkawi saya di dunia Plurk karena saya udah dapatkan 2 dari badge-badge yang biasanya buat plurker jumawa:
  • Badge nirvana
    Badge yang diberikan ketika plurker mencapai karma 81 yang mana mereka akan mendapat last advanced emoticon
  • Badge idola
    Badge yang diberikan apabila timeline plurker diikuti oleh lebih dari 50 plurker lain
  • Badge bintang
    Badge yang ditujukan untuk inisiasi plurker (yang kelewat rajin?) yang dapat meng-invite plurker-plurker baru. 10 orang mendapat bintang silver, 25 emas, dan 50 orang merah.

Jadi tinggal badge bintang saja yang belum saya dapatkan karna angka invitationnya masih stuck di 7. Tapi koq rasanya saya tidak terlalu ngoyo lagi ngejar ya (wong bisa pake emo curian). How’s 25, 50? Hell, ini sebenarnya mikroblogging apa MLM?!

Hal yang membuat saya masih terjebak di Plurk adalah saya menemukan banyak teman yang ternyata sangat asyik untuk diajak sharing. Merupakan sebuah kehormatan tersendiri buat saya bisa kenal dan (sok) akrab dengan Andri, Andar, Citra, Aris Sunawar, Leni, Eca, Ronron (Jabodetabek), Emai, Kang Indra, teh Devy, Kang Nashir (Bandung), Asrul, Mutiah, Ismi, Ilo, iLLa (Makassar), Syam (Banjarmasin), Cici, Bikpici, Mama Fa (Sumatra), Pradna, Setyo, om Andy (Njawa), Cak Dadan, Handri (Njawatimuran). Ada semacam keterikatan sendiri untuk saling merespons tret yang kita buat tiap harinya. Tidak melulu serius (bahkan semakin lama semakin turun persentasenya hehe), tapi candaan yang dihadirkan pun cukup asyik untuk membuat kita menikmati hari yang sering terjebak dalam rutinitas.

Plurk vs Koprol

Medio Februari kemarin, anak-anak bangsa yang menamakan mencitrakan diri mereka, very cool geeks (hehe) mencoba menggebrak dunia permikrobloggingan Indonesia dengan menghadirkan kombinasi tiga pendahulunya yang sudah eksis. Mengambil sistem komentar interaktif Plurk, kesederhanaan tampilan Twitter, dan update lokasi user Brightkite. Untuk kemudian koproler dipersilahkan untuk mem-vote Good|Bad dari tempat yang dikunjungi (istilahnya dikoprol).

Sampai sekarang, tim development yang diketuai oleh Satya Witoelar dan Fajar masih berada pada tahapan beta yang artinya masih restricted (untuk menjadi koproler mesti diinvite oleh member.. remember Gmail?).
Tertarik untuk membandingkan bayi koprol dengan reksoso Plurk. Meski sebenarnya tidaklah fair, tapi kenapa tidak? (It will help the team grows, I hope).

Tampilan
Dari segi tampilan, mode stream memang sedang jadi in, bahkan facebook pun baru saja mengupdate dengan mode seperti ini. Ketika pertama kali melihat plurk, saya langsung jatuh hati dengan mikroblog ini. Kenapa? Mode stream yang horizontal cukup menggoda user untuk mencoba. Akan tetapi, kelemahan muncul ketika semakin banyak teman yang ada di friend list kita karna thread-thread di time line menumpuk. Awalnya saya coba untuk merespons satu-satu tret teman, tapi lama-kelamaan menyadari itu tidak akan pernah selesai. Obat kejam bernama Mark all as read pun biasanya terpaksa saya keluarkan.
Koprol tidak menggunakan tampilan horisontal sebagai streamnya, tampilannya cenderung sederhana saja, tapi justru saya menemukan sebuah elegansi yang bisa menarik user yang jengah dengan tampilan-tampilan yang ribet.

Drop Down Menu
Saya pernah membuat thread di Plurk yang isinya pernyataan bahwa di antara Blog, Facebook, Friendster, maka Plurk lah yang benar-benar menghisap energi dan fokus saya. Kita masih bisa mengacuhkan satu-dua jam Blog-FB-FS, tapi Plurk? Justru komunikasi real time streaming lah yang menjadikan plurk sangat menarik. Kita tidak perlu menunggu berhari-hari komentar terkumpul seperti di blog. Cukup buat thread dengan isi yang interaktif, maka kita akan dapatkan respons yang diharapkan dalam beberapa jam ke depan saja.
Hal yang paling menghisap waktu kita adalah membuka satu per satu thread. Plurk hanya bisa membuka satu thread setiap waktunya, otomatis kita mesti menunggu dalam 10-30 detik (tergantung banyak respons). Estimasi saya adalah lama waktu untuk membaca 10 respons sama dengan menunggu satu thread terbuka. Ini benar-benar pemborosan waktu! You know what make it worse? Jika setelah menunggu lama-lama hasilnya error, Gosh!

Koprol lain lagi, dia bisa membuka semua thread dalam satu waktu (thread lama tetap terbuka meski kita membuka thread baru). Tentu sangat mengefisienkan waktu kita untuk membuka semua komentar terlebih dahulu untuk kemudian semua komentar dibaca dalam satu waktu saja.
Spesifik, all in one
Meski sekarang di Plurk banyak thread yang kurang berisi, generalisasi tujuan ngeplurk masih menjadi sarana yang efektif untuk:
  • Mempromosikan sebuah postingan baru di blog
  • Ajang narsis para fotogenic, jauhjenic, cargenic
  • Diskusi dengan tema yang tidak terbatas
Sementara itu, koprol kalau saya lihat lebih spesifik. Dari tujuan awal mikroblog ini, saya memperkirakan kalau tujuan spesifik Koprol adalah informasi tempat-tempat nongkrong, perhotelan sampai dengan kompleks perumahan. Entah mengapa saya masih merasa gagap ragu untuk berdiskusi hal-hal yang berat di sana (saya berharap kecemasan ini terlalu dini).

Mencermati tiga telaah awal di atas, Koprol punya peluang yang cerah untuk dicintai blogger, plurker atau twitter yang ingin mencoba mikroblog buatan anak-anak bangsa. Apalagi buat user yang aktivitas sehari-harinya senantiasa mobile dan berhubungan dengan banyak orang, koprol bisa jadi sarana kopdar yang lebih spontan dan tidak terduga.
Catatan kecil:
Per hari ini, Koprol baru saja memberi tambahan 5 invitation baru buat membernya. Jadi saya punya 10 tiket masuk untuk merasakan mikroblog lokal ini. Dari bincang-bincang ringan di Plurk, akhirnya saya memberikan invitation ini kepada: Kang Nashir di Bandung, Eyla di Depok, Syam di Banjarmasin, iLLa di Surabaya, Artharry di Jogja, Lisa di Jakarta, Andar di Tangerang.. Jadi masih tersisa 3 tiket untuk reservasi hehe...
Read More 42 Komentar | Ditulis oleh Dodi Mulyana edit post

Kambing Jantan: Sebuah Catatan

Mengenal Raditya Dika sejak di buku Kambing Jantan sampai Babi Ngesot, saya sudah memproyeksikan kalau buku pertamanya akan diangkat ke layar lebar suatu saat kelak. Simpel saja, buku-bukunya mendobrak genre buku di Indonesia saat itu  dan ceritanya begitu dekat dengan keseharian yang banyak dialami oleh pembacanya. Ketika pada akhirnya itu mewujud ke dalam bentuk sebuah Kambing Jantan The Movie, saya angkat topi akan konsistensi keinginannya menghibur orang.
Mengawali film penceritaan silsilah celana dalam bokapnya yang diperankan Pong Hardjatmo, film ini cukup menjanjikan untuk bisa mengocok perut. Meski saya kurang setuju dengan casting Pong Hardjatmo yang kurang bisa menggambarkan harapan bokap Dika yang gokil dan selebor. Tapi oke lah...
Cerita kemudian berlanjut antara hahaha, hehehe, dan hiks hiks. Hahaha sangat terasa ketika konsep LDR yang akhirnya malah nyimpang ke Long Dick Reduction, hehehe ketika mengetahui alasan Dika memilih Universitas Adelaide, dan hiks hiks ketika salah satu jagoan karakter Dika di buku, Edgar, gagal total menghibur dengan buang air besar sembarangannya.
Film Komedi atau Drama?
Film yang selayaknya komedi kemudian berubah menjadi mellow drama ketika peran Kebo terlalu banyak menghabiskan plot cerita. Adegan marah-marahan waktu ngeband, sesaat Dika akan pergi ke Australia, saat... saat... (selayaknya lagu putus-nyambung), sampai akhirnya adegan Dika memutuskan bahwa mereka berdua sudah tidak cocok. Secara drama Mas Rudi emang jagonya bikin scene-scene yang menyentuh seperti saat Kebo menyadari bahwa dalam 10-15 kata lagi Dika akan mutusin dia, dan saat ketika Dika tiba-tiba mutusin untuk terbang dari Australia ke Jakarta hanya untuk minta maaf. Tapi koq saya malah merasa adegan mellow tersebut dengan gemilang mengubah pertanyaan di benak banyak orang “apakah Dika lucu?” menjadi “yap, Dika gak lucu”. Oiya, satu catatan saya di sini adalah kenapa tokoh Cinta-nya Dian Sastro itu selalu nampak hadir di karakter cewek-cewek film abege sekarang ya? Nggak marahnya, merajuknya, ngambeknya saya masih liat Dian juga di karakter Kebo.
Dewa Penyelamat
Cerita di film ini kemudian diselamatkan dengan sukses oleh peran Harianto yang diperankan oleh salah satu pengisi Extravaganza, Edric. Tampang ndeso yang baru menjejak di kota besar terasa menjadi penghibur yang setimpal ketika film berjalan monoton dua arah antara Kambing dan Kebo. Salah satu adegan paling gokil adalah ketika subuh-subuh Harianto ingin minta beras ke tempat dika sementara dika mesti ke airport. Menyelonong ikut dika di taksi sampai akhirnya tersadar dicuekin dika di bandara merupakan adegan paling alami yang membuat penonton tertawa.
Ada beberapa adegan filosofis yang dapat saya ambil dari cerita ini: ketika Dika nekenin kata “gak segampang itu” saat kebo minta Dika ujug-ujug datang di hari ulang tahunnya, filosofis gelap yang sejatinya kekurangan cahaya, dan tentu saja nilai pilihan hidup ketika dika mutusin untuk tidak nerusin kuliah di finance. Saya mengalami ketiga-ketiganya pengalaman tersebut sehingga saya bisa tau dalamnya pelajaran yang dipetik seorang Dika ketika mengalami ini semua. 
Saat di awal akan menonton film ini, ada empat buah pertanyaan yang akan menentukan apakah saya akan menyukai film atau tidak:
  • Seberapa gokil kah Dika secara visual (terjawab, dika nggak gokil)
  • Gimana sih pacaran ala kambing dan kebo (terjawab, pacaran yang ajib)
  • Sepolos apakah Harianto (terjawab, polos sangat)
  • Ada adegan Di Balik Jendela kah (terjawab, perfect scene!)
Hingga akhirnya ketika film selesai, saya mempunyai kesimpulan bahwa jika yang dicari adalah cerita-cerita super gokil dika di bukunya, penonton akan kecewa. Tapi kalau penasaran dengan siapa sejatinya dika itu sendiri (di mata keluarga, sahabat, pacar, bule-bule), penonton akan cukup puas. Dan saya berada di pilihan terakhir (3 of 5 stars).
Rekam adegan:
Lucu : Harianto naek taksi
Filosofis : Di Balik Jendela
Garing: Edgard di semua scene, Ine yang lebay, dan momen belajar di Australia 
Catatan terakhir lagu Di Balik Jendela, For What It’s Worth-nya Cardigans jadi salah satu playlist andalan gw sampai saat ini hehe...
Read More 22 Komentar | Ditulis oleh Dodi Mulyana edit post

Novel-Novel Yang Melelahkan

Di antara beberapa genre bacaan yang saya suka, novel merupakan salah satu bacaan yang akan selalu menyertai aktivitas saya sehari-hari, selain puisi. Sangat menyenangkan menyelami karakter demi karakter yang dilukiskan dalam sebuah novel. Beberapa karakter yang menginspirasi saya antara lain Santiago di Alchemist, Arai di Sang Pemimpi, dan Kris di Epigram. Tak heran tiga pengarangnya pun menjadi pengarang yang novel-novelnya menginspirasi saya: Paulo Coelho, Andrea Hirata, dan Kang Jamal.

Dalam memutuskan untuk membeli-tidaknya sebuah novel, sedianya saya menggantungkan kepada resensi singkat di belakang buku atau endorsemen tokoh-tokoh terkenal terhadap buku tersebut. Sayangnya beberapa kali saya pernah kecele terhadap cara tersebut, buku yang diresensi terdengar sangat seru ternyata beralur membosankan atau pun endorsemen-endorsemen yang biasanya datang dari selebritis persis seperti fungsi lipstik bagi perempuan—menggoda tapi sebentar saja efeknya.

Merunut ke belakang ada beberapa novel yang sejauh ini merupakan novel-novel yang memerlukan perjuangan keras untuk menyelesaikan (atau tidak akan pernah selesai?):
Beib, Aku Sakau (Cinta Banget, Gitu loh...!)
Alasan utama membeli novel ini karna pengarangnya begitu tenar setelah me-launch buku kontroversial Jakarta Under Cover. Meski saya tidak pernah tertarik dengan kehidupan seperti itu, saya mencoba untuk ingin tau sejauh mana karya-karya lain dari Moammar Emka melalui buku ini.
Kesan pertama membaca buku ini lumayan asyik karena menceritakan perjuangan seorang mendapatkan pujaannya (dan ini selalu menarik saya hehe). Sampai akhirnya saya merasa terganggu dengan kata-kata puitis yang sangat berlebihan untuk sebuah novel ringan (menerka dari ringan dan lelucon judul), akhirnya saya pun tak kuasa untuk meneruskan membaca buku ini setelah seperempat bagian buku. Ya karna tidak sanggup saja untuk dicekoki untaian puisi yang bagi saya too much. Can you enjoy over-taste meals? I can’t.
Bilangan Fu
Novel ini sebuah novel murni tanpa embel-embel endorsemen dari Ayu Utami. Motivasi untuk membaca novel ini tentu karna ingin mengetahui judul, memahami simbol di cover tersebut, dan yang terpenting adalah ingin mengetahui apakah saya mampu untuk memahami jalan berpikir Ayu (jujur ketika membaca novel Ayu sebelumnya, Saman, saya tidak terlalu memperoleh antusiasme yang sama seperti yang diresensikan orang-orang).
Ada beberapa telaah yang sangat asyik sebenarnya tentang pencarian bilangan Fu dan Hu, penggambaran pendakian bukit-bukit gamping, dan kehidupan tradisional yang ditopangnya. Akan tetapi keasyikan saya mulai terganggu ketika Ayu mulai memasukkan tokoh tuyul ke dalam cerita, dan akhirnya padam ketika di dua halaman berikutnya saya membaca judul Hantu Cekik. Saya tidak terlalu tertarik untuk membaca genre-genre seperti ini sehingga saya memutuskan untuk menstop tepat dua lembar sebelum bab itu (mudah-mudahan bisa diselesaikan).
Maryamah Karpov
Buku ini awalnya saya harapkan menjadi buku pamungkas yang bisa dihadirkan oleh seorang Andrea guna melengkapi kesuksesan tiga buku sebelumnya—Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Menebak-nebak teka-teki siapa sebenarnya Maryamah Karpov adalah esensi dari proses menunggu penerbitan buku itu sendiri. Ketika penantian itu berakhir di bulan November 2008, yang terjadi adalah saya tertatih-tatih membaca buku setebal 516 halaman karna sedihnya harapan untuk memecah teka-teki itu digambarkan dalam frame yang teramat sangat tidak penting.
"mak cik maryamah masih asyik mengajar orang-orang bermain catur di warung kopi nyiur melambai..."
Sampai akhirnya dengan berat hati saya berpendapat ini adalah kesalahan pertama dari Andrea dari sekian kegemilangan yang dia peroleh dari tetralogi Laskar Pelangi. Perihal isu bahwa Andrea sebenarnya mempersiapkan buku ini dalam dua jilid (dengan jilid kedua menceritakan sisi pribadi Maryamah), saya tidak ingin berharap banyak. Baik bagi saya untuk tidak berpengharapan lebih karna takut terulang kekecewaan yang sama.
Parfume
Tergoda untuk membaca buku ini karna stempel “Telah terjual lebih dari 15 juta eksemplar”, akhirnya saya putuskan untuk membeli buku ini saat gajian kemarin. Ekstase cerita yang sekiranya menarik di awal cerita—pembunuh perawan untuk menghasilkan parfum terbaik di dunia, pada kenyataannya timbul tenggelam di sepanjang cerita. Beberapa scene seperti saat Grennouille meracik parfum, tinggal di gua, dan proses perjalanannya membuat saya tenggelam karam untuk melanjutkan ceritanya. Tapi beberapa kali diselamatkan oleh proses penyadaran bakat jeniusnya, pertemuan dengan Baldini, dan yang paling menyelamatkan adalah ending yang benar-benar nendang. Beruntung Suskind memiliki penyelamatan cerita seperti itu.
Read More 24 Komentar | Ditulis oleh Dodi Mulyana edit post
Newer Posts Older Posts Home

Color Paper

  • Tentang Blog Ini

      Berawal dari goresan pena pengalaman paling pribadi, untuk kemudian menyadari bahwa sebuah tulisan bisa menjadi alat yang lebih tajam daripada pisau dan lebih cepat dibanding peluru. Demikian, tulisan-tulisan di blog ini pun berevolusi menjadi tulisan dalam konteks yang lebih umum.


  • ShoutMix chat widget

    Followers

    deBlogger

    • e-no
      Seribu Bayang Purnama: Seribu Problema Pertanian Kita
      1 week ago
    • shandyisme
      Personal Loan Cancellation
      6 years ago
    • Ramadoni
    • Welcome to gegepoweranger.co.cc
    • I AM DITO
    • ãñÐrî ñâwáwï

    Blog Archive

    • ▼  2009 (20)
      • ►  June (2)
      • ►  May (3)
      • ►  April (5)
      • ▼  March (4)
        • deBlogger – Sebuah Harapan
        • Plurk vs Koprol
        • Kambing Jantan: Sebuah Catatan
        • Novel-Novel Yang Melelahkan
      • ►  February (3)
      • ►  January (3)
    • ►  2008 (3)
      • ►  November (1)
      • ►  May (1)
      • ►  January (1)
    • ►  2007 (3)
      • ►  December (1)
      • ►  July (1)
      • ►  April (1)
    • ►  2006 (11)
      • ►  October (1)
      • ►  July (7)
      • ►  June (2)
      • ►  February (1)
    • ►  2005 (16)
      • ►  December (1)
      • ►  October (2)
      • ►  August (2)
      • ►  July (3)
      • ►  June (5)
      • ►  May (3)

    Blog Statistik






    free counters

    • Home
    • Posts RSS
    • Comments RSS
    • Edit

    © Copyright Dhodie's blog. All rights reserved.
    Designed by FTL Wordpress Themes | Bloggerized by FalconHive.com
    brought to you by Smashing Magazine

    Back to Top